Home » #mediaonmedia » Asia Tenggara: Penelusuran Kontak atas Hoax COVID-19
#mediaonmedia

Asia Tenggara: Penelusuran Kontak atas Hoax COVID-19

28 Januari 2021 | Reporting ASEAN

MANILA – Hoax tentang diet, bahwa memakan makanan dengan kadar alkali tinggi dapat menyembuhkan COVID-19 seharusnya sudah tidak terdengar lagi. Para ahli sains dan pemeriksa fakta di seluruh dunia telah dengan cepat membantahnya saat kabar bohong tersebut tersebar.

Namun faktanya, klaim keliru tersebut telah bertahan selama sembilan bulan di media sosial, menunjukan kekuatan disinfodemik yang menyertai pandemi.

Asia Tenggara, yang jelas tidak kebal dari banyaknya gelombang misinformasi yang didorong oleh wabah SARS-CoV-2 pada akhir 2019 lampau, telah sedikit banyak berkontribusi dalam melanggengkan kebohongan tersebut. Sebagai contoh, sampai dengan akhir Desember, banyak grup Facebook di Indonesia dan beberapa dari Myanmar yang meggembar-gemborkan diet makanan beralkali dapat mencegah atau menyembuhkan COVID-19. Apalagi yang tersebar di aplikasi pesan pribadi, tidak terbayang seperti apa.

Apa yang nampak jelas adalah fabrikasi ini dimulai dari pesan berantai yang  secara cepat menjadi viral di seluruh dunia. Hal ini membuat menunjuk “pasien nol” dan titik lonjakan secara tepat menjadi sulit, karenak klaim-klaim palsu yang beredar saat ini telah bermutasi menjadi banyak versi, baik panjang maupun pendek, dan dalam berbagai bahasa. Apakah semua bermula dari Facebook, ataukah WhatsApp, yang juga dimiliki oleh Facebook?

Meskipun begitu, pesan utama yang disebarkan hoax diet makanan beralkali ini cukup jelas.

Pertama, novel coronavirus 2019 menurutnya memiliki kadar pH (ukuran seberapa asam atau basa larutan cair) antara 5.5 sampai 8.5.

Kedua, memakan makanan dengan kadar pH di atas kadar tersebut menurutya dapat menetralkan virus tersebut.

Ketiga, beberapa makanan beralkali tinggi menurutnya termasuk lemon yang memliiki kadar pH 9.9, jeruk nipis 9.2, alpukat 15.6, bawang putih 13.2, mangga 8.7, jeruk siam 8.5, nanas 12.7, dandelion 22.7, dan jeruk 9.2.

Tidak satupun dari hal di atas benar. Bahkan dalam beberapa contoh, terdapat penanda yang jelas bahwa pesan-pesan itu tidak benar.

Satu versi yang beredar di Asia Tenggara mengutip “Jurnal Virologi, April 1991, halaman 1916” sebagai basis atas klaim. Namun SARS-CoV-2 bahkan belum ada di tahun 1991.

Hasil pemindaian makalah penelitian yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah dwi-mingguan dengan penelaahan sejawat edisi tersebut juga menunjukan klaim tersebut sebenarnya berkaitan dengan MHV4 atau hepatitis tikus kategori 4.

Mengingat kembali pelajaran kimia juga dapat membantu. Kadar pH memiliki kisaran dari 0 sampai 14. Apapun yang melebihi kisaran tesebut, seperti 15.6 untuk alpukat dan 22.7 untuk dandelion sebagaimana disebutkan dalam klaim, adalah tidak mungkin.

Riset lebih lanjut juga mengungkap bahwa seluruh kadar pH yang disebutkan melalui pesan berantai tersebut salah. Sebaliknya, hampir semua makanan yang disebutkan – lemon, jeruk nipis, nanas, bawang putih, jeruk, jeruk siam bersifat asam, dan alpukat bersifat sedikit asam.

Ilmuwan juga mengatakan bahwa memakan makanan beralkali tidak akan mengubah kadar pH dalam tubuh sama sekali. 

“Hanya orang bodoh, yang tidak memahami dasar ilmu pengetahuan, yang dapat mengajukan klaim sampah seperti itu” kata seorang ilmuwan senior kepada grup pemeriksa fakta dari India, Fact Cresendo.

Meski demikian, Asia Tenggara tetap tersapu bersih bersama dengan negara-negara lain di dunia saat mitos diet tersebut melonjak pada awal April 2020.

MUTASI VIRUS

Pesan berantai yang menjadi viral di Indonesia dan Filipina ini banyaknya beredar sebagai pesan atau status media sosial yang dilengkapi dengan foto di Facebook, dan juga melalui WhatsApp untuk Indonesia dan aplikasi perpesanan Viber di Filipina. Pesan berantai tersebut tersebut juga beberapa kali ditemukan di Twitter dan Instagaram.

Data dari Crowdtangle, sebuah alat pemantuan media sosial, menyatakan bahwa antara April dan Juni saja, klaim diet alkali tersebut diposting di sekitar 550 halaman Facebook di Indonesia yang apabila dijumlahkan memiliki hampir 40 juta pengikut.

Meskipun klaim tersebut hanya berhasil mencapai 30 halaman Facebook di Filipina pada periode yang sama, Crowdtangle menunjukan bahwa tingkat interaksinya jauh melebihi Indonesia, dengan rata-rata 309 interaksi per halaman dibandingkan Indonesia yang hanya 32. Halaman facebook di Filipina juga membagikan klaim tersebut sebanayak rata-rata 155 kali, berbanding kontras dengan 14 di Indonesia.

Hoax tersebut juga menyebar di Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Myanmar, dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, Bahasa Malaysia, Bahasa Thai, Bahasa Khmer, dan juga Bahasa Myanmar.

Di luar Asia Tenggara, penyebar hoax ini juga termasuk badan negara yang mengatur isu media (Pakistan), koran arus utama (Turki), saluran TV lokal (Ecuador), selebriti, jurnalis dan influencer (Venezuela), dan bahkan universitas (Ethiopia).

Di Asia Tenggara, beberapa media lokal dan mereka yang mendeskripsikan diri mereka sebagai media juga berada di belakang pendistribusian hoax alkali, selain individu atau kelompok yang terlibat dalam urusan gaya hidup dan kesehatan. Di Filipina, beberapa unit atau staf pemerintah di level provinsi, kota, desa dan dewan pemuda, memperkuat pesan tersebut melalui halaman atau grup Facebook yang mereka miliki.

Walaupun banyak dari mereka yang membagikan memiliki maksud yang baik dan berharap agar penerima pesan tetap sehat dan terbebas dari virus corona, sebagian melakukannya untuk bersenang-senang. Sebagai contoh, seorang pengguna Facebook menambahkan resep guacamole, saus celup yang dibuat dari lemon (atau jeruk nipis) dan alpukat, ke pesan tersebut. Pengguna lain menggunakan kesempatan tersebut untuk mempromosikan teknik pernapasan yoga tiga bagian.

Namun ada juga yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Barang jualannya? Cangkir alkali, sayur, buah, dan bahan makanan sehari-hari lainnya, serta ramuan kopi dari restoran di Phuket. Daftar ini terus dan terus berlanjut.

Seringkali, pekerjaan pemeriksa fakta terkait klaim palsu seperti David melawan Goliath.

Terlepas dari motifnya, bahaya dari disinformasi COVID-19 secara umum terlebih lagi terkait penyembuhan palsusangatlah nyata. Di luar informasi yang tidak tepat terkait diet alkali, dalam banyak contoh, pesan berantai digabungkan dengan saran medis lainnya seperti megobati diri sendiri dengan antibiotik.

“Dengan meningkatnya jumlah kasus, konsekuensi dari disinfodemic itu fatal. Banyak masyarakat yang tertipu, menyebabkan mereka tidak dapat memahami dan menjalankan upaya pencegahan yang berlandaskan ilmiah. Banyak yang sekarat sebagai akibat dari merasa sudah cukup paham, atau beralih ke ‘pengobatan’ palsu,” sebagaimana diperingatkan oleh ringkasan kebijakan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Sampai dengan 6 Januari 2021, jumlah infeksi SARS-CoV-2 di seluruh dunia telah mencapai 85 juta. Jumlah kematian mencapai 1.8 juta.

Apabila mitos diet alkali terus menjadi daya tarik, itu kemungkinan dikarenakan oleh kecerdikan pembuat  dan penyebarnya untuk menyesuaikan pesan ke audiensnya.

Di Eropa dan Amerika Selatan, ‘ahli’ baik yang benar-benar nyata ataupun tidak, dikutip untuk memberikan kredibilitas kepada pesan bohong tersebut: misalnya sebuah universitas swasta di Meksiko (nyata), jurnal ilimiah lainnya (nyata), pusat virologi di Moskow (fiktif), kepala klinik penyakit menular di Amerika Serikat (fiktif).

Di Asia Tenggara, posting-posting yang pendek hampir tidak pernah menyebut atau menamakan ahli, terkecuali versi yang mengutip Jurnal Virologi yang disebutkan di atas. Sebagai gantinya, mereka hanya merujuk kepada ‘Perawat GP (praktik umum) di Inggris’ (yang kemudian berubah menjadi ‘perawat Filipina di Inggris’, di beberapa posting di Filipina), ‘pasien yang sembuh dari rumah sakit’ atau ‘seorang teman di rumah sakit isolasi’. Namun hal ini tidak menghentikan klaim tersebut untuk mengumpulkan kekuatannya.

Pastinya, hoax diet alkali membuat para pemerika fakta di seluruh dunia sibuk.

Salah satu hasil periksa fakta paling awal keluar di Ecuador pada akhir Februari. Setidaknya 30 organisasi atau inisiatif pemerika fakta, yang mana banyak dari mereka adalah penandatangan terverifikasi di Jaringan Internasional Pemerika Fakta yang berbasis di Amerika Serikat, telah membongkar kebohongan itu. Mereka melibatkan pemeriksa fakta dari Asia Tenggara, termasuk Tempo dan Liputan 6 di Indonesia, Rappler dan Vera Files di Filipina, Sure and Share di Thailand, dan kemudian Agence France-Presse di Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Namun dikarenakan klaim-klaim tersebut terus kembali, beberapa pemeriksa fakta harus memposting ulang atau memperbarui pemeriksaan fakta atau bahkan menerbitkan yang baru. Chequeado di Argentina telah membantah klaim tersebut setidaknya empat kali. Pusat Pemeriksaan Fakta Taiwan juga memposting pemeriksaan fakta tiga kali di halaman Facebooknya, dan menautkannya dua kali.

KEBOHONGAN MENYEBAR LEBIH CEPAT

Seperti potongan-potongan disinformasi lainnya, hoax mengenai diet juga mengonfirmasi dengan jelas bahwa kebohongan tidak hanya menyebar lebih cepat daripada fakta, tetapi juga memiliki audiens yang lebih besar.

Di Turki, klaim palsu tersebut telah dibagikan sebanyak 23.000 kali saat hasil pemeriksaan fakta diterbitkan. Hasil pemeriksaan fakta tersebut hanya dibagikan sebanyak 23 kali. Pemeriksaan fakta di Filipina dibagikan 141 kali, dibandingkan dengan posting viral yang dibagikan 2.200 kali. Satu contoh lainnya di Filipina dibagikan sebanyak 58 kali berbanding dengan klaim palsu yang dibagikan 5.000 kali.

Seringkali, pekerjaan pemeriksa fakta terkait klaim palsu seperti David melawan Goliath. Tetapi ini juga merupakan panggilan yang jelas untuk meningkatkan intervensi guna membersihkan apa yang sudah menjadi asupan disinformasi yang lazim bagi banyak orang.

Untuk membaca dalam Bahasa Inggris, silakan klik di sini.

(*Yvonne T Chua adalah jurnalis dan associate professor di University of the Philippines, dimana dia mengajar tentang pemeriksaan fakta. Artikel ini adalah bagian dari seri Reporting ASEAN berjudul #fighttheinfodemic.)

Leave a Comment

© 2023 Reporting ASEAN – Voices and views from within Southeast Asia. All Rights Reserved.

Scroll to top